Minggu, 26 September 2010

Dibutuhkan, Makelar Seni

Cuaca di Belanda sedang sangat baik ketika rombongan Opera Jawa yang berjumlah sekitar 30 orang tiba di Bandar Udara Schipol, akhir Agustus lalu. Musim gugur sedang pada performa terbaiknya sebelum cuaca Eropa berubah drastis pertengahan September ini, dikarenakan musim dingin yang datang lebih awal. Robert van den Bos, lelaki berambut putih terkesan pendiam, sendirian menjemput rombongan di airport.

”Saya sudah memesan matahari untuk kalian,” kata Robert, yang memiliki agensi yang mengurusi pertunjukan-pertunjukan semacam ini di Eropa, bernama Anmaro, dalam perjalanan menuju penginapan rombongan. ”Datangnya agak siangan,” tambahnya berseloroh mengenai matahari yang ”dipesannya”.
Robert bersama Anmaro-nya berikut apa yang dilakukannya barangkali bisa menggambarkan apa yang dikerjakan oleh para ”makelar seni”. Dunia telah berubah dalam globalisasi ini. Relasi antarbudaya berbagai bangsa berada dalam kesetaraan. Berbeda dibanding zaman berjayanya kaum Orientalis, di mana yang non-Barat mendapat tempat di Barat umumnya karena alasan eksotisme atau preservasi.
Hubungan-hubungan kebudayaan dalam pola semacam itu tentu masih berlangsung sampai sekarang. Misalnya pada misi-misi kebudayaan terutama yang diprakarsai pemerintah. Sejumlah seniman tradisi dikirim ke suatu negara, bersama para birokrat, atau bahkan si ”seniman”-nya sendiri adalah kerabat atau sanak saudara si birokrat. Pertunjukan diperuntukkan para pejabat, serta orang-orang dari negeri sendiri yang tinggal di luar negeri. Orang senang setelah kangen-kangenan, dan kemudian misi dianggap ”sukses”.
Jago kandang
Yang kita bicarakan sekarang bukan itu, melainkan bagaimana produk seni menjadi bagian dari industri kreatif di tengah keterbukaan pasar dunia di era globalisasi. Dunia seni rupa paling maju dalam hal ini. Mekelar seni, pialang seni, atau sebutan kerennya ”art dealer” dari Indonesia punya kiprah di Eropa, Amerika, atau setidaknya Asia. Jumlahnya tidak banyak, tetapi ada. Perempuan-perempuan. Cantik. Pihak ini membangun jaringan misalnya dengan galeri dan art fair di luar negeri, kemudian membawa karya-karya seni rupa seniman Indonesia ke situ. Gejala paling menonjol, dikarenakan berkembang-pesatnya seni rupa China karya-karya seni dari Indonesia ikut terdongkrak. Untuk hal ini sudah banyak orang mafhum.
Bagaimana dengan seni pertunjukan? Sebenarnya, bersama perubahan pandangan terhadap seni dan sejarahnya sekarang, yang disebut apa itu seni juga berubah. Seni kontemporer adalah seni yang mengonsolidasikan pengalaman estetik apa saja. Lagi-lagi, dalam hal ini seni rupa kontemporer menjadi bidang paling progresif.
Seniman Heri Dono yang blebar-bleber antarnegara, misalnya, urusannya bukan hanya menggelar pameran lukisan di galeri. Dia ambil bagian dalam workshop, pelatihan, serta aktivisme-aktivisme para seniman di luar negeri. Baginya, berkesenian adalah juga upaya untuk ambil bagian dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia.
Menurut Heri, kiprah di luar negeri itu dimungkinkan antara lain karena hubungan dengan berbagai agen seni atau makelar seni tadi. ”Saya tidak akan menjual karya lewat saudara atau kenalan,” katanya. Agen seni, galeri, mengurusinya. Mengurusi itu tidak sebatas bisnis, tetapi juga perkembangan karier si seniman, karena mereka menguasai petanya. Di sini Heri Dono menyayangkan terbatasnya peran kurator-kurator (seni rupa) di Indonesia. Mereka dianggapnya tidak punya jejak di dunia internasional, hanya menjadi ”jago kandang” di negeri sendiri.
Sejarah perkembangan seni seperti itu juga terasa di seni pertunjukan. ”Seni pertunjukan (performing art) Eropa sedang mencari dunia baru,” kata Robert. Problemnya, menurut Robert, para direktur gedung pertunjukan, direktur teater, direktur festival, dan berbagai pihak yang memiliki tempat dan acara untuk seni pertunjukan sebenarnya kurang mempunyai informasi mengenai kekayaan berbagai negara. Ini juga salah satu alasan, mengapa Robert terjun ke dunia makelar seni. Bersama istrinya, Maria Teresa Buttarelli, dia mengaku sudah menjalani usaha ini sekitar 25 tahun.
Dinamo
Sama seperti Heri Dono, Robert melihat kurang tumbuhnya makelar-makelar seni dari Indonesia. Untuk Asia, dia membandingkan seperti Singapura, Malaysia, Filipina, yang memiliki orang-orang yang berperan sebagai perantara. Hanya sayangnya, dari negeri-negeri itu, kekayaan seninya, atau istilah Robert software-nya, tidaklah sekaya Indonesia. Menurut dia, seandainya pers ikut membentuk jaringan dengan para direktur festival, direktur gedung seni pertunjukan, ia akan bisa mempromosikan kesenian Indonesia secara lebih luas lagi.
Robert menggambarkan, kalau disederhanakan, dalam bisnis seni pertunjukan semacam ini sedikitnya ada lingkaran: penyelenggara tempat (venue), seniman, penonton. Di tengah itu ada satu pihak lagi, yakni makelar. Makelar inilah yang menjembatani tiga pihak yang berkepentingan tadi, yaitu penyelenggara tempat, seniman, dan penonton.
Makelar digambarkan akan menjadi semacam dinamo yang menggerakkan semua potensi tadi. ”Dengan itu, Anda menciptakan suatu kegiatan kecil industri kreatif,” ucapnya. Itulah yang dimaksudnya dengan menciptakan kesempatan—bukan menunggu kesempatan. Bahkan kalau ada pesaing, Robert yakin usahanya akan makin berkembang karena dia akan tertantang untuk selalu menampilkan (bentuk produk seni) nomor satu. ”Saya membutuhkan kompetitor,” ucapnya.
Investasi
Praktis sendirian memilih dan mengorganisasi pertunjukan-pertunjukan dari Indonesia di Eropa terutama di Belanda, Robert mendasarkan pilihannya pada ”instink”. Membandingkan seniman-seniman Indonesia dengan seniman Asia lainnya, Robert menuturkan seniman dari Indonesia memiliki pola kerja tersendiri, yang bagi yang tidak mengenalnya bisa membikin cemas. ”Seniman dari Korea atau Jepang misalnya, tiga bulan sebelumnya semuanya sudah pasti, sudah tetap, sampai bentuk panggung. Dengan orang Indonesia, sampai dua hari menjelang pertunjukan masih kelihatan kacau. Tetapi saya kenal, pada waktunya mereka akan beres dengan sendirinya,” kata Robert tertawa. ”Kita tidak perlu cemas,” tambahnya.
Untuk terjun ke dunia makelar seni pertunjukan seperti ini, menurut dia, kita harus bersedia menginvestasikan waktu dan uang. ”Do you want to invest time, money, to promote Indonesian art?” tanya Robert (Bersediakah menyediakan waktu dan uang untuk mempromosikan seni Indonesia?)
Dari segi waktu saja, terlihat bagaimana habis-habisannya Robert. Sendirian ia menjemput rombongan di airport. Sementara istrinya, Maria, menyiapkan tetek-bengek di penginapan, seperti makan siang menyambut rombongan. Sampai kartu telepon anggota rombongan yang ingin ber-sms secara murah ke Tanah Air, Maria yang mengurusnya, dengan mencari kartu telepon di pasar. Begitu pun perlengkapan panggung yang oleh seniman Indonesia bisa dibutuhkan secara mendadak. Sampai pukul 02.00 dini hari, kadang Robert masih sibuk menelepon menanyakan ini-itu.
Untung cuaca Amsterdam waktu itu sedang bagus. Pada dini hari ketika dia menelepon, kami barangkali masih begadang di kafe menikmati musim gugur sebelum musim dingin benar-benar menyergap....
___
Sumber: Bre Redana, "Dibutuhkan, Makelar Seni," Kompas: Minggu, 26 September 2010.

Terbang Bersama Kebaya

Ketika orang asing belum mengenal Indonesia, mereka sudah lebih dulu mengenal maskapai penerbangan Garuda Indonesia dari seragam pramugarinya,” kata Josephine Werratie Komara atau Obin, desainer yang ikut merancang seragam baru maskapai penerbangan Garuda Indonesia periode tahun 2010.


Dulu, sekitar tahun 1970-an, pramugari Garuda Indonesia selalu menarik perhatian orang. Setiap kali pesawat maskapai penerbangan ini mendarat di luar negeri, hampir semua mata memandang ke arah pramugari Garuda yang ketika itu berseragam kebaya dan berkain jarik. Kebaya tersebut berbahan brokat yang berlubang-lubang.

”Ada keanggunan yang membuat banyak orang kagum,” tutur Obin.

Hidup Obin dekat dengan Garuda sehingga ia selalu mengikuti perjalanan sejarah maskapai penerbangan nasional itu. Ayah Obin adalah pendiri biro perjalanan pertama di Jakarta.

Selama hampir empat dekade, seragam awak kabin Garuda Indonesia berganti dari kebaya menjadi rok dengan setelan baju safari; rok terusan mini, seperti baju tenis yang didesain oleh Pierre Cardin; hingga rok panjang dan baju panjang seperti baju kurung; lalu berubah lagi menjadi rok panjang dengan baju lengan pendek.

Obin yang bekerja secara sukarela untuk Garuda ingin mengembalikan seragam Garuda kembali ke kebaya. Menurut Obin, kebaya itu sangat pas dengan siluet tubuh orang Indonesia. Selain itu, kebaya juga menjadi ciri khas berbusana sebagian besar masyarakat Indonesia.

Obin tetap memadukan kebaya dengan kain. Namun, agar lebih praktis dalam pemakaian, ia sudah memodifikasi kain yang akan dipakai pramugari Garuda. Kain yang lengkap dengan wiron (lipatan di bagian depan kain) itu bisa langsung dipakai seperti memakai rok panjang tanpa harus repot melilitkannya di pinggang.

Praktis dan nyaman 
Perancang Musa Widiatmodjo juga mengangkat kebaya ketika merancang pakaian seragam maskapai penerbangan Mandala Airlines. Namun, karena alasan kepraktisan, ia memadukan kebaya itu dengan celana panjang.

”Pakaian seragam itu untuk bekerja, jadi desainnya harus mempertimbangkan unsur kepraktisan, keleluasaan gerak, dan kenyamanan. Pramugari itu kerjanya berat,” kata Musa.

Kalau Mandala dan Garuda mengangkat kebaya, Lion Air justru memakai seragam model cheongsam sejak tahun 2000 pada saat maskapai penerbangan itu pertama kali beroperasi. Model cheongsam dipilih karena dianggap tidak cepat ketinggalan zaman.

”Selain menjadi model yang tak akan ketinggalan zaman, cheongsam juga dinilai cocok untuk dipakai pramugari dari beragam usia,” kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait, pertengahan September lalu. Model seragam pramugari Lion Air ini ditentukan sendiri oleh perusahaan tanpa campur tangan perancang busana.

Baju cheongsam ini dipadu dengan rok panjang dengan belahan yang tingginya hingga sepaha. ”Kami memperhitungkan fleksibilitas gerak pramugari untuk kepentingan tugas mereka. Tinggi belahannya bahkan telah diperhitungkan, termasuk saat pramugari harus berlari pada situasi tertentu. Apalagi, setiap pramugari melakukan uji coba saat fitting pakaian. Jadi, ukuran saat fitting sama seperti yang dilakukan saat bertugas,” tutur Edward.

Tahan api
Seragam pramugari benar-benar mempertimbangkan faktor estetika dan kegunaan. Saat bertugas, pramugari tidak hanya dituntut tampil cantik dan elegan, tetapi juga harus gesit dan cekatan melayani penumpang. Dalam keadaan darurat, ia harus bergerak cepat untuk menyelamatkan penumpang.

Obin membuat motif kain yang inspirasinya diambil dari motif lereng gondosuli. Ia lalu menambahkan motif sayap burung garuda dan titik-titik kecil yang melambangkan bunga melati.

Tata letak lereng (miring) pada kain, menurut Obin, tampak lebih elegan jika dipakai. Kain yang dikenakan memiliki belahan di bagian depan setinggi lutut sehingga membuat pramugari leluasa bergerak.

Untuk kebaya, sebelumnya Obin mendesain model kebaya kutu baru, tetapi tim panelis seragam Garuda memilih kebaya gaya kartini karena alasan lebih praktis. Pertimbangan kedaruratan membuat pihak Garuda Indonesia memilih material kain campuran katun dan polyester yang tahan api dan tidak mudah kusut.

Seragam Garuda tidak lagi hanya berwarna biru tua dan hijau tosca, tetapi juga jingga. Warna seragam yang akan dikenakan secara bertahap mulai bulan Oktober mendatang ini disesuaikan dengan warna baru pada kabin pesawat yang didominasi coklat terakota, jingga, dan merah bata. Selain awak kabin, seragam Garuda juga akan dipakai untuk unit lain.

Musa mempertimbangkan banyak hal sebelum memilih material untuk seragam Mandala. Salah satunya adalah kekuatan bahan terhadap gesekan. Sepanjang pengamatannya, pakaian pramugari rentan rusak akibat bergesekan dengan sabuk pengaman yang dikenakan.

Salah satu pertimbangan itu membuat Musa memilih bahan polyester hightwist (yang dipilin dua kali) sehingga kuat dan tidak mudah berbulu kalau dicuci. Material tersebut juga tidak mudah lecek sehingga cocok untuk keperluan perjalanan. Untuk Mandala, Musa memakai motif kain lurik dan batik truntum sebagai simbol kebahagiaan. Batik dipilih karena lebih dikenal masyarakat luas. (Lusiana Indriasari/Yulia Sapthiani) - Editor: Dini 

____
Sumber: Lusiana Indriasari & Yulia Sathiani, "Terbang Bersama Kebaya," Kompas, MInggu, 26 September 2010.