Rabu, 26 Mei 2010

Mengumpulkan Sayap-sayap Patah

Janganlah mereka dibuang. Janganlah mereka disingkirkan. Siapa pun kita pasti masih bisa mengangkat harkat mereka. Persoalannya, adakah keberanian kita untuk mengumpulkan sayap-sayap patah itu?
Derai air mata tak sempat dibiarkan mengalir ketika Guru Besar Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali memutar sekelumit video penari balet sembari memperlihatkan secara detail gambar bergerak itu di depan peserta ”Temu Nasional Wirausaha Sosial” di Jakarta.
Pertukaran informasi dan sikap saling menguatkan antar- wirausaha sosial itu diselenggarakan Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI), Kamar Dagang dan Industri Indonesia, serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Atma Jaya dan didukung British Council.
Mengagumkan. Seusai satu kata itu, Rhenald membuat sebagian penonton terenyak. Sunyi. Hanya getaran perasaan atau boleh dibilang tubuh penonton jadi merinding menyaksikan penampilan kedua penari balet China itu.
Bayangkan, pebalet perempuan, Zhai Xiao Wei, menari dengan penuh gemulai. Meliuk-liuk bak seorang pebalet yang memiliki anggota tubuh lengkap. Gerakannya sangat meyakinkan meski tangan kanan perempuan itu sesungguhnya tidak ada.
Kolaborasi menggetarkan semakin menjadi-jadi tatkala seorang pebalet lelaki, Ma Li, naik ke atas panggung. Ma Li hanya memiliki kaki kanan. Dengan tongkat yang dipegang untuk menyangga kaki kirinya, Ma Li berduet dengan Zhai Xiao Wei.
Saling dukung dalam gerakan-gerakan indah. Memukau. Bahkan, penonton sempat menghela napas ketika Ma Li yang percaya dengan lawan duetnya melepaskan tongkat penyangga tubuhnya. Meliuk-liuk, kekuatannya membuat Ma Li dengan percaya diri menggendong Zhai Xiao Wei.
”Stop. Kalau diteruskan, mungkin kita akan menangis kagum. Mereka memang cacat. Namun, seorang koreografer Zhao Limin mampu mengangkat harkat mereka di panggung entertainment,” kata Rhenald.
Tentu, keterbatasan yang diangkat di atas panggung hiburan menjadikan penghasilan tersendiri. Kalaupun kemudian mendatangkan uang berlipat ganda, hal itu patut disyukuri.
Kaki palsu
Lagi-lagi, sekelumit kisah ditayangkan. Kali ini seseorang lelaki berjalan perlahan, lalu menaiki beberapa anak tangga. Lelaki itu duduk beristirahat, melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Tanpa dinyana, sebelah kaki lainnya ”dicopot”.
Itulah Sugeng Siswoyudono asal Mojokerto, Jawa Timur, yang tanpa sungkan menunjukkan kaki palsunya. Si pembuat kaki palsu ini pernah diangkat dalam sebuah acara di televisi swasta, bahkan menginspirasi banyak orang.
Dari ketidakpunyaan dan keterbatasan, Sugeng terobsesi membuat kaki palsu untuk membantu sesamanya. Dalam keikhlasannya, Sugeng mengatakan, ”Saya bikin kaki palsu untuk membantu sesama. Saya sempat sedih. Jangankan suruh beli kaki palsu, mereka itu untuk makan saja sudah susah! Kalau dikasih duit, ya, itu namanya rezeki.”
Menginspirasi
Tak sebatas menginspirasi. Begitulah yang perlu dilakukan wirausaha sosial. Kegiatan AKSI masih membutuhkan peningkatan kapasitas atau kemampuan, khususnya dalam hal kewirausahaan.
Masih banyak pelaku sosial yang ”takut” menjadi wirausaha sosial karena begitu melakukan aktivitas komersial, mereka sering menghadapi fitnah-fitnah komersialisasi walaupun kegiatan itu diperlukan untuk menjadi mandiri.
Bambang Ismawan, tokoh lembaga swadaya masyarakat yang sudah bergelut lebih dari 43 tahun dalam Yayasan Bina Swadaya, mengatakan, ”Minta-minta masih lebih dianggap terhormat daripada menjadi mandiri. Tata nilai yang keliru ini akan dihadapi AKSI dengan pembangunan kemampuan, khususnya pada sisi kewirausahaan.”
Padahal, Chief Executive Officer Bodyshop Indonesia Suzy Hutomo mengakui, tatanan lingkungan yang semakin harus dijaga kelestariannya telah mendorong industrinya untuk menunjukkan komitmen pada sustainabilitas lingkungan. Triple bottom line yang harus dipegang seorang wirausaha adalah pelestarian planet (bumi), people (masyarakat), dan profit (keuntungan).
YW Junardy, Presiden Indonesia Global Compact Network (IGCN), menegaskan, ”Sebuah bisnis yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sudah menjadi tuntutan mutlak. Saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan anjlok.”
Bayang-bayang skandal, kompetisi yang tidak fair, fluktuasi bursa saham yang cenderung menurun, isu-isu lingkungan, dan berbagai ketidakpastian ekonomi sudah menjadi santapan sehari-hari. Bisnis yang selama ini serupa cowboy capitalism dan economic animals kini lebih diarahkan pada penciptaan nilai demi para pemangku kepentingan.
Junardy memandang, stakeholders tersebut secara berurutan mulai dari tingkat tertinggi adalah konsumen, karyawan, pemasok, komunitas/masyarakat, pemerintah, shareholders/investor, dan lingkungan.
Sebuah cita-cita ingin digapai oleh para wirausaha sosial. Dalam komitmennya, kegiatan kewirausahaan sosial dapat menjadi sektor ketiga yang sama pentingnya dengan dunia swasta. Ini mengingat Indonesia adalah bangsa yang bertata nilai komunal, masyarakat senang berbagi, terdapat tradisi pengabdian masyarakat dalam dunia akademik, adanya perangsang berupa besarnya jarak (gap) antara si kaya dan miskin, tingginya angka penganggur, adanya nilai-nilai budaya partisipatif yang dapat dihidupkan dengan mudah, serta berkembangnya minat kewirausahaan yang besar di antara kalangan muda.
Selain itu, tantangan-tantangan yang membutuhkan uluran tangan masyarakat juga cukup kuat di Indonesia, mulai dari masalah sampah, gizi buruk, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, pendidikan yang kualitasnya masih rendah, kerusakan lingkungan, pemberdayaan kaum perempuan, hingga konflik sosial.
Terdorong atas berbagai problem besar itulah Perkumpulan Telapak tergerak untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan. Lalu, Rumah Perubahan bergerak sebagai lembaga edukasi yang bergerak dalam bidang pelatihan untuk mengembangkan wawasan kewirausahaan dan peningkatan kapasitas bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar.
Mahkota Dewa Indonesia lebih menyoroti gerakan wanita tani dengan memanfaatkan berbagai tanaman obat di Indonesia. Sementara Jarimatika Indonesia menjadikan komunitas ibu rumah tangga sebagai basis gerakan pendidikan supaya anak-anak tumbuh dalam kecerdasan.
Berbagai contoh gerakan individual atau kelompok itulah yang kemudian melahirkan wirausaha sosial. Dalam kebersamaan itu, AKSI, yang ingin menebar ”virus-virus” kebaikan, kini tengah bersiap mengikuti kompetisi dalam memperebutkan grant international senilai 800 juta dollar AS yang disediakan oleh Millennium Challenge Corporation (MCC).
Sekali lagi, kerja keroyokan para social entrepreneur tersebut tetaplah harus ditujukan untuk kegiatan riil memberantas kemiskinan dan buta huruf, serta perbaikan administrasi guna memberantas korupsi di Indonesia. Kolaborasi sesama pelaku kewirausahaan sosial ini diperkirakan dapat melibatkan 30 juta penduduk miskin. Bukan sekadar cari kemenangan!
---
Sumber: Stefanus Osa Triyatna, "Mengumpulkan Sayap-sayap Patah," Kompas: Rabu, 26 Mei 2010.

Kamis, 20 Mei 2010

Shakuntala Devi, Si Genius Matematika

Anda tidak suka pelajaran Matematika? Apakah berhitung dan angka menjadi momok bagi Anda? Temuilah Shakuntala Devi, si ajaib di dunia hitung-menghitung. Baginya, matematika bukanlah sesuatu yang menyeramkan, melainkan sesuatu yang menyenangkan. 
Sabtu (16/5) pagi hingga siang hari di Pusat Kebudayaan India Jawaharlal Nehru (JNICC), Jakarta, Devi memperlihatkan kegeniusannya di bidang hitung-menghitung. Dia menjawab soal-soal yang diberikan hadirin kepadanya. Salah satunya, akar pangkat tiga dari 469.097.433. Begitu dia membaca soal itu, langsung dijawabnya dalam waktu tak lebih dari satu detik. ”777,” ujarnya.
Si penanya langsung membenarkannya, disambut tepuk tangan hadirin. Berulang-ulang Devi menjawab soal-soal dari hadirin dan berulang-ulang pula dia membuat hadirin terkesan.
”Saya sangat cinta pada angka. Angka bukanlah suatu ancaman. Bahkan, satu hal yang bisa kalian andalkan dalam hidup ini adalah angka,” ujar Devi.
Tak hanya menghitung soal pembagian atau perkalian angka dengan banyak digit, Devi juga dengan cepat mengetahui hari lahir hanya dari tanggal lahir hadirin. Devi pun menyukai astrologi terkait tanggal lahir, tetapi dia tidak meramal nasib.
Tak hanya itu, Devi dengan cepat dan benar mengatakan tanggal berapa saja dalam satu tahun yang merupakan hari Rabu, misalnya. Atau sebaliknya, tanggal 21 setiap bulan, misalnya, jatuh pada hari apa saja.
Tak ada coret-coretan di papan tulis atau di kertas untuk mengungkapkan bagaimana Devi menghitung semua angka itu dengan demikian cepatnya. Dia berkata, semua jawaban itu dengan cepat muncul begitu saja di otaknya.
”Saya melakukannya secara spontan. Tidak ada jarak antara pertanyaan dan jawaban. Saya sudah melakukannya dalam waktu yang lama dan rasanya sudah seperti bagian dari hidup saya,” ujarnya.
Saat ditanya apakah dia pernah salah memberikan jawaban, Devi mengatakan, ”Tidak, saya tidak pernah salah. Barangkali ada kebingungan jika pertanyaan tidak jelas, atau jika angka 4 terlihat seperti 9, bisa saja saya salah,” ujarnya.
Saat ditanya bagaimana dia melakukan semua itu. Sambil tersenyum, Devi menjawab, ”Itu semua anugerah Tuhan, anugerah Dewa Ganesha.”
Sejak kecil
Kegeniusan Devi sudah terlihat saat dia berumur tiga tahun. Lahir di Bangalore, India, pada 4 November 1939, bakatnya terlihat dalam permainan kartu bersama ayahnya yang bekerja di sebuah sirkus. Devi mengalahkan ayahnya dengan mengingat kartu-kartu, bukan karena tipuan sulap.
Pada usia enam tahun, Devi mendemonstrasikan kegeniusannya di hadapan mahasiswa dan profesor di University of Mysore, India, dengan mengerjakan penghitungan aritmatika yang rumit dengan secepat kilat. Dia melakukan hal yang sama pada usia delapan tahun di Annamalai University, Osmania University, dan Vizag University di India.
Dari berbagai penampilannya itu, dia mendapat julukan ”Anak Ajaib”, bahkan ada yang menyebutnya ”Human Computer”. Namun, ia menolak sebutan terakhir. ”Saya lebih dari komputer, saya memiliki hati,” katanya.
Devi berkeliling dunia mempertunjukkan kegeniusannya. Tahun 1977 ia mengalahkan komputer paling canggih kala itu untuk menghitung akar pangkat 23 dari angka 201 digit. Setelah melihat 201 digit angka itu, Devi menunduk, memejamkan mata, dan berkonsentrasi. Saat jarum pada stopwatch mencapai angka 50 detik, Devi membuka mata dan menjawab: 546.372.891. Komputer Univac 1108 memerlukan 62 detik untuk menjawab: 546.372.891.
Tanggal 18 Juni 1980 menjadi hari bersejarah sekaligus pengakuan formal atas kegeniusan Devi. Pada hari itu, dia menghitung perkalian angka 13 digit, 7.686.369.774.870 x 2.465.099.745.779, yang dipilih secara acak oleh sebuah komputer di London. Jawabannya 18.947.668.177.995.426.462.773. 730 muncul dalam waktu hanya 28 detik. Nama Devi terukir dalam Guinness Book of Records.
Semua itu tidak didapat Devi dari bangku sekolah. Kepada Kompas, saat ditemui Jumat (14/5), Devi menuturkan, dirinya tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal.
”Saudara saya tujuh orang. Saya harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga keluarga kami,” ujarnya. Semua saudaranya lulus sekolah menengah atas, tetapi tidak satu pun memiliki kegeniusan seperti yang dimilikinya.
Bertemu Soekarno
Kemampuan itu telah membawa Devi keliling dunia, lebih dari 120 negara, dan bertemu tokoh-tokoh dunia. Salah satunya adalah Soekarno, presiden pertama RI yang dia temui pada tahun 1961.
Devi menuturkan, waktu itu Perdana Menteri India pertama, Jawaharlal Nehru, menceritakan kepada Soekarno tentang remaja India yang genius dalam bidang hitung-menghitung.
Soekarno, yang juga suka matematika, tidak percaya. Lalu Nehru ”mengirimkan” Devi ke Jakarta agar dia dapat mempertunjukkan kebolehannya di Istana Negara, Jakarta.
”Beliau (Soekarno) sangat terkesan dan menghadiahi saya gelang yang masih saya simpan di India. Mereka bilang, saya mirip salah satu putri Soekarno,” kenang Devi sambil tertawa.
Kunjungan Devi ke Indonesia sekarang ini merupakan kedatangan yang kedua kali. Dia menyatakan sangat senang, Jakarta sudah berkembang dibandingkan tahun 1961.
Devi kini tengah menanti kerja sama dengan penerbit Gramedia untuk menerbitkan buku-bukunya dalam bahasa Indonesia agar pengetahuan yang dimilikinya bisa dibagikan kepada anak-anak Indonesia.
Devi mengabdikan hidupnya untuk membuat anak-anak yang takut matematika menjadi suka matematika. Dia memberikan konsultasi, menulis buku, dan melatih anak-anak yang kesulitan dalam matematika di berbagai tempat.
Ada 14 buku yang sudah Devi tulis, 6 di antaranya adalah buku matematika. Bukunya yang berjudul Wonderland of Numbers bercerita tentang anak India bernama Neha yang tidak menyukai matematika, tetapi kemudian berubah menjadi jago matematika. Buku ini banyak menginspirasi anak-anak di India sehingga mereka tak lagi membenci matematika.
Dengan segenap kecintaan terhadap dunia angka, dia mendirikan Shakuntala Devi Educational Foundation Public Trust di tempat kelahirannya, Bangalore. Yayasan itu akan dibuka Mei 2010 ini.
”Mimpi saya adalah membagikan pengetahuan saya kepada seluruh dunia. Saya ingin mengubah cara berpikir tentang matematika supaya anak-anak tak lagi menjadikannya sebagai musuh,” tuturnya menutup perbincangan.
___
Sumber: Shakuntala Devi, Si Genius Matematika, Fransisca Romania & Elok Dyah Messwati, Kompas: Kamis, 20 Mei 2010.