Janganlah mereka dibuang. Janganlah mereka disingkirkan. Siapa pun kita pasti masih bisa mengangkat harkat mereka. Persoalannya, adakah keberanian kita untuk mengumpulkan sayap-sayap patah itu?
Derai air mata tak sempat dibiarkan mengalir ketika Guru Besar Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali memutar sekelumit video penari balet sembari memperlihatkan secara detail gambar bergerak itu di depan peserta ”Temu Nasional Wirausaha Sosial” di Jakarta.
Pertukaran informasi dan sikap saling menguatkan antar- wirausaha sosial itu diselenggarakan Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI), Kamar Dagang dan Industri Indonesia, serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Atma Jaya dan didukung British Council.
Mengagumkan. Seusai satu kata itu, Rhenald membuat sebagian penonton terenyak. Sunyi. Hanya getaran perasaan atau boleh dibilang tubuh penonton jadi merinding menyaksikan penampilan kedua penari balet China itu.
Bayangkan, pebalet perempuan, Zhai Xiao Wei, menari dengan penuh gemulai. Meliuk-liuk bak seorang pebalet yang memiliki anggota tubuh lengkap. Gerakannya sangat meyakinkan meski tangan kanan perempuan itu sesungguhnya tidak ada.
Kolaborasi menggetarkan semakin menjadi-jadi tatkala seorang pebalet lelaki, Ma Li, naik ke atas panggung. Ma Li hanya memiliki kaki kanan. Dengan tongkat yang dipegang untuk menyangga kaki kirinya, Ma Li berduet dengan Zhai Xiao Wei.
Saling dukung dalam gerakan-gerakan indah. Memukau. Bahkan, penonton sempat menghela napas ketika Ma Li yang percaya dengan lawan duetnya melepaskan tongkat penyangga tubuhnya. Meliuk-liuk, kekuatannya membuat Ma Li dengan percaya diri menggendong Zhai Xiao Wei.
”Stop. Kalau diteruskan, mungkin kita akan menangis kagum. Mereka memang cacat. Namun, seorang koreografer Zhao Limin mampu mengangkat harkat mereka di panggung entertainment,” kata Rhenald.
Tentu, keterbatasan yang diangkat di atas panggung hiburan menjadikan penghasilan tersendiri. Kalaupun kemudian mendatangkan uang berlipat ganda, hal itu patut disyukuri.
Lagi-lagi, sekelumit kisah ditayangkan. Kali ini seseorang lelaki berjalan perlahan, lalu menaiki beberapa anak tangga. Lelaki itu duduk beristirahat, melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Tanpa dinyana, sebelah kaki lainnya ”dicopot”.
Itulah Sugeng Siswoyudono asal Mojokerto, Jawa Timur, yang tanpa sungkan menunjukkan kaki palsunya. Si pembuat kaki palsu ini pernah diangkat dalam sebuah acara di televisi swasta, bahkan menginspirasi banyak orang.
Dari ketidakpunyaan dan keterbatasan, Sugeng terobsesi membuat kaki palsu untuk membantu sesamanya. Dalam keikhlasannya, Sugeng mengatakan, ”Saya bikin kaki palsu untuk membantu sesama. Saya sempat sedih. Jangankan suruh beli kaki palsu, mereka itu untuk makan saja sudah susah! Kalau dikasih duit, ya, itu namanya rezeki.”
Tak sebatas menginspirasi. Begitulah yang perlu dilakukan wirausaha sosial. Kegiatan AKSI masih membutuhkan peningkatan kapasitas atau kemampuan, khususnya dalam hal kewirausahaan.
Masih banyak pelaku sosial yang ”takut” menjadi wirausaha sosial karena begitu melakukan aktivitas komersial, mereka sering menghadapi fitnah-fitnah komersialisasi walaupun kegiatan itu diperlukan untuk menjadi mandiri.
Bambang Ismawan, tokoh lembaga swadaya masyarakat yang sudah bergelut lebih dari 43 tahun dalam Yayasan Bina Swadaya, mengatakan, ”Minta-minta masih lebih dianggap terhormat daripada menjadi mandiri. Tata nilai yang keliru ini akan dihadapi AKSI dengan pembangunan kemampuan, khususnya pada sisi kewirausahaan.”
Padahal, Chief Executive Officer Bodyshop Indonesia Suzy Hutomo mengakui, tatanan lingkungan yang semakin harus dijaga kelestariannya telah mendorong industrinya untuk menunjukkan komitmen pada sustainabilitas lingkungan. Triple bottom line yang harus dipegang seorang wirausaha adalah pelestarian planet (bumi), people (masyarakat), dan profit (keuntungan).
YW Junardy, Presiden Indonesia Global Compact Network (IGCN), menegaskan, ”Sebuah bisnis yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sudah menjadi tuntutan mutlak. Saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan anjlok.”
Bayang-bayang skandal, kompetisi yang tidak fair, fluktuasi bursa saham yang cenderung menurun, isu-isu lingkungan, dan berbagai ketidakpastian ekonomi sudah menjadi santapan sehari-hari. Bisnis yang selama ini serupa cowboy capitalism dan economic animals kini lebih diarahkan pada penciptaan nilai demi para pemangku kepentingan.
Junardy memandang, stakeholders tersebut secara berurutan mulai dari tingkat tertinggi adalah konsumen, karyawan, pemasok, komunitas/masyarakat, pemerintah, shareholders/investor, dan lingkungan.
Sebuah cita-cita ingin digapai oleh para wirausaha sosial. Dalam komitmennya, kegiatan kewirausahaan sosial dapat menjadi sektor ketiga yang sama pentingnya dengan dunia swasta. Ini mengingat Indonesia adalah bangsa yang bertata nilai komunal, masyarakat senang berbagi, terdapat tradisi pengabdian masyarakat dalam dunia akademik, adanya perangsang berupa besarnya jarak (gap) antara si kaya dan miskin, tingginya angka penganggur, adanya nilai-nilai budaya partisipatif yang dapat dihidupkan dengan mudah, serta berkembangnya minat kewirausahaan yang besar di antara kalangan muda.
Selain itu, tantangan-tantangan yang membutuhkan uluran tangan masyarakat juga cukup kuat di Indonesia, mulai dari masalah sampah, gizi buruk, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, pendidikan yang kualitasnya masih rendah, kerusakan lingkungan, pemberdayaan kaum perempuan, hingga konflik sosial.
Terdorong atas berbagai problem besar itulah Perkumpulan Telapak tergerak untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan. Lalu, Rumah Perubahan bergerak sebagai lembaga edukasi yang bergerak dalam bidang pelatihan untuk mengembangkan wawasan kewirausahaan dan peningkatan kapasitas bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar.
Mahkota Dewa Indonesia lebih menyoroti gerakan wanita tani dengan memanfaatkan berbagai tanaman obat di Indonesia. Sementara Jarimatika Indonesia menjadikan komunitas ibu rumah tangga sebagai basis gerakan pendidikan supaya anak-anak tumbuh dalam kecerdasan.
Berbagai contoh gerakan individual atau kelompok itulah yang kemudian melahirkan wirausaha sosial. Dalam kebersamaan itu, AKSI, yang ingin menebar ”virus-virus” kebaikan, kini tengah bersiap mengikuti kompetisi dalam memperebutkan grant international senilai 800 juta dollar AS yang disediakan oleh Millennium Challenge Corporation (MCC).
Sekali lagi, kerja keroyokan para social entrepreneur tersebut tetaplah harus ditujukan untuk kegiatan riil memberantas kemiskinan dan buta huruf, serta perbaikan administrasi guna memberantas korupsi di Indonesia. Kolaborasi sesama pelaku kewirausahaan sosial ini diperkirakan dapat melibatkan 30 juta penduduk miskin. Bukan sekadar cari kemenangan!
---
Sumber: Stefanus Osa Triyatna, "Mengumpulkan Sayap-sayap Patah," Kompas: Rabu, 26 Mei 2010.