”Saya sudah memesan matahari untuk kalian,” kata Robert, yang memiliki agensi yang mengurusi pertunjukan-pertunjukan semacam ini di Eropa, bernama Anmaro, dalam perjalanan menuju penginapan rombongan. ”Datangnya agak siangan,” tambahnya berseloroh mengenai matahari yang ”dipesannya”.
Robert bersama Anmaro-nya berikut apa yang dilakukannya barangkali bisa menggambarkan apa yang dikerjakan oleh para ”makelar seni”. Dunia telah berubah dalam globalisasi ini. Relasi antarbudaya berbagai bangsa berada dalam kesetaraan. Berbeda dibanding zaman berjayanya kaum Orientalis, di mana yang non-Barat mendapat tempat di Barat umumnya karena alasan eksotisme atau preservasi.
Hubungan-hubungan kebudayaan dalam pola semacam itu tentu masih berlangsung sampai sekarang. Misalnya pada misi-misi kebudayaan terutama yang diprakarsai pemerintah. Sejumlah seniman tradisi dikirim ke suatu negara, bersama para birokrat, atau bahkan si ”seniman”-nya sendiri adalah kerabat atau sanak saudara si birokrat. Pertunjukan diperuntukkan para pejabat, serta orang-orang dari negeri sendiri yang tinggal di luar negeri. Orang senang setelah kangen-kangenan, dan kemudian misi dianggap ”sukses”.
Yang kita bicarakan sekarang bukan itu, melainkan bagaimana produk seni menjadi bagian dari industri kreatif di tengah keterbukaan pasar dunia di era globalisasi. Dunia seni rupa paling maju dalam hal ini. Mekelar seni, pialang seni, atau sebutan kerennya ”art dealer” dari Indonesia punya kiprah di Eropa, Amerika, atau setidaknya Asia. Jumlahnya tidak banyak, tetapi ada. Perempuan-perempuan. Cantik. Pihak ini membangun jaringan misalnya dengan galeri dan art fair di luar negeri, kemudian membawa karya-karya seni rupa seniman Indonesia ke situ. Gejala paling menonjol, dikarenakan berkembang-pesatnya seni rupa China karya-karya seni dari Indonesia ikut terdongkrak. Untuk hal ini sudah banyak orang mafhum.
Bagaimana dengan seni pertunjukan? Sebenarnya, bersama perubahan pandangan terhadap seni dan sejarahnya sekarang, yang disebut apa itu seni juga berubah. Seni kontemporer adalah seni yang mengonsolidasikan pengalaman estetik apa saja. Lagi-lagi, dalam hal ini seni rupa kontemporer menjadi bidang paling progresif.
Seniman Heri Dono yang blebar-bleber antarnegara, misalnya, urusannya bukan hanya menggelar pameran lukisan di galeri. Dia ambil bagian dalam workshop, pelatihan, serta aktivisme-aktivisme para seniman di luar negeri. Baginya, berkesenian adalah juga upaya untuk ambil bagian dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia.
Menurut Heri, kiprah di luar negeri itu dimungkinkan antara lain karena hubungan dengan berbagai agen seni atau makelar seni tadi. ”Saya tidak akan menjual karya lewat saudara atau kenalan,” katanya. Agen seni, galeri, mengurusinya. Mengurusi itu tidak sebatas bisnis, tetapi juga perkembangan karier si seniman, karena mereka menguasai petanya. Di sini Heri Dono menyayangkan terbatasnya peran kurator-kurator (seni rupa) di Indonesia. Mereka dianggapnya tidak punya jejak di dunia internasional, hanya menjadi ”jago kandang” di negeri sendiri.
Sejarah perkembangan seni seperti itu juga terasa di seni pertunjukan. ”Seni pertunjukan (performing art) Eropa sedang mencari dunia baru,” kata Robert. Problemnya, menurut Robert, para direktur gedung pertunjukan, direktur teater, direktur festival, dan berbagai pihak yang memiliki tempat dan acara untuk seni pertunjukan sebenarnya kurang mempunyai informasi mengenai kekayaan berbagai negara. Ini juga salah satu alasan, mengapa Robert terjun ke dunia makelar seni. Bersama istrinya, Maria Teresa Buttarelli, dia mengaku sudah menjalani usaha ini sekitar 25 tahun.
Sama seperti Heri Dono, Robert melihat kurang tumbuhnya makelar-makelar seni dari Indonesia. Untuk Asia, dia membandingkan seperti Singapura, Malaysia, Filipina, yang memiliki orang-orang yang berperan sebagai perantara. Hanya sayangnya, dari negeri-negeri itu, kekayaan seninya, atau istilah Robert software-nya, tidaklah sekaya Indonesia. Menurut dia, seandainya pers ikut membentuk jaringan dengan para direktur festival, direktur gedung seni pertunjukan, ia akan bisa mempromosikan kesenian Indonesia secara lebih luas lagi.
Robert menggambarkan, kalau disederhanakan, dalam bisnis seni pertunjukan semacam ini sedikitnya ada lingkaran: penyelenggara tempat (venue), seniman, penonton. Di tengah itu ada satu pihak lagi, yakni makelar. Makelar inilah yang menjembatani tiga pihak yang berkepentingan tadi, yaitu penyelenggara tempat, seniman, dan penonton.
Makelar digambarkan akan menjadi semacam dinamo yang menggerakkan semua potensi tadi. ”Dengan itu, Anda menciptakan suatu kegiatan kecil industri kreatif,” ucapnya. Itulah yang dimaksudnya dengan menciptakan kesempatan—bukan menunggu kesempatan. Bahkan kalau ada pesaing, Robert yakin usahanya akan makin berkembang karena dia akan tertantang untuk selalu menampilkan (bentuk produk seni) nomor satu. ”Saya membutuhkan kompetitor,” ucapnya.
Praktis sendirian memilih dan mengorganisasi pertunjukan-pertunjukan dari Indonesia di Eropa terutama di Belanda, Robert mendasarkan pilihannya pada ”instink”. Membandingkan seniman-seniman Indonesia dengan seniman Asia lainnya, Robert menuturkan seniman dari Indonesia memiliki pola kerja tersendiri, yang bagi yang tidak mengenalnya bisa membikin cemas. ”Seniman dari Korea atau Jepang misalnya, tiga bulan sebelumnya semuanya sudah pasti, sudah tetap, sampai bentuk panggung. Dengan orang Indonesia, sampai dua hari menjelang pertunjukan masih kelihatan kacau. Tetapi saya kenal, pada waktunya mereka akan beres dengan sendirinya,” kata Robert tertawa. ”Kita tidak perlu cemas,” tambahnya.
Untuk terjun ke dunia makelar seni pertunjukan seperti ini, menurut dia, kita harus bersedia menginvestasikan waktu dan uang. ”Do you want to invest time, money, to promote Indonesian art?” tanya Robert (Bersediakah menyediakan waktu dan uang untuk mempromosikan seni Indonesia?)
Dari segi waktu saja, terlihat bagaimana habis-habisannya Robert. Sendirian ia menjemput rombongan di airport. Sementara istrinya, Maria, menyiapkan tetek-bengek di penginapan, seperti makan siang menyambut rombongan. Sampai kartu telepon anggota rombongan yang ingin ber- sms secara murah ke Tanah Air, Maria yang mengurusnya, dengan mencari kartu telepon di pasar. Begitu pun perlengkapan panggung yang oleh seniman Indonesia bisa dibutuhkan secara mendadak. Sampai pukul 02.00 dini hari, kadang Robert masih sibuk menelepon menanyakan ini-itu.
Untung cuaca Amsterdam waktu itu sedang bagus. Pada dini hari ketika dia menelepon, kami barangkali masih begadang di kafe menikmati musim gugur sebelum musim dingin benar-benar menyergap....
___
Sumber: Bre Redana, "Dibutuhkan, Makelar Seni," Kompas: Minggu, 26 September 2010.