Minggu, 26 September 2010

Dibutuhkan, Makelar Seni

Cuaca di Belanda sedang sangat baik ketika rombongan Opera Jawa yang berjumlah sekitar 30 orang tiba di Bandar Udara Schipol, akhir Agustus lalu. Musim gugur sedang pada performa terbaiknya sebelum cuaca Eropa berubah drastis pertengahan September ini, dikarenakan musim dingin yang datang lebih awal. Robert van den Bos, lelaki berambut putih terkesan pendiam, sendirian menjemput rombongan di airport.

”Saya sudah memesan matahari untuk kalian,” kata Robert, yang memiliki agensi yang mengurusi pertunjukan-pertunjukan semacam ini di Eropa, bernama Anmaro, dalam perjalanan menuju penginapan rombongan. ”Datangnya agak siangan,” tambahnya berseloroh mengenai matahari yang ”dipesannya”.
Robert bersama Anmaro-nya berikut apa yang dilakukannya barangkali bisa menggambarkan apa yang dikerjakan oleh para ”makelar seni”. Dunia telah berubah dalam globalisasi ini. Relasi antarbudaya berbagai bangsa berada dalam kesetaraan. Berbeda dibanding zaman berjayanya kaum Orientalis, di mana yang non-Barat mendapat tempat di Barat umumnya karena alasan eksotisme atau preservasi.
Hubungan-hubungan kebudayaan dalam pola semacam itu tentu masih berlangsung sampai sekarang. Misalnya pada misi-misi kebudayaan terutama yang diprakarsai pemerintah. Sejumlah seniman tradisi dikirim ke suatu negara, bersama para birokrat, atau bahkan si ”seniman”-nya sendiri adalah kerabat atau sanak saudara si birokrat. Pertunjukan diperuntukkan para pejabat, serta orang-orang dari negeri sendiri yang tinggal di luar negeri. Orang senang setelah kangen-kangenan, dan kemudian misi dianggap ”sukses”.
Jago kandang
Yang kita bicarakan sekarang bukan itu, melainkan bagaimana produk seni menjadi bagian dari industri kreatif di tengah keterbukaan pasar dunia di era globalisasi. Dunia seni rupa paling maju dalam hal ini. Mekelar seni, pialang seni, atau sebutan kerennya ”art dealer” dari Indonesia punya kiprah di Eropa, Amerika, atau setidaknya Asia. Jumlahnya tidak banyak, tetapi ada. Perempuan-perempuan. Cantik. Pihak ini membangun jaringan misalnya dengan galeri dan art fair di luar negeri, kemudian membawa karya-karya seni rupa seniman Indonesia ke situ. Gejala paling menonjol, dikarenakan berkembang-pesatnya seni rupa China karya-karya seni dari Indonesia ikut terdongkrak. Untuk hal ini sudah banyak orang mafhum.
Bagaimana dengan seni pertunjukan? Sebenarnya, bersama perubahan pandangan terhadap seni dan sejarahnya sekarang, yang disebut apa itu seni juga berubah. Seni kontemporer adalah seni yang mengonsolidasikan pengalaman estetik apa saja. Lagi-lagi, dalam hal ini seni rupa kontemporer menjadi bidang paling progresif.
Seniman Heri Dono yang blebar-bleber antarnegara, misalnya, urusannya bukan hanya menggelar pameran lukisan di galeri. Dia ambil bagian dalam workshop, pelatihan, serta aktivisme-aktivisme para seniman di luar negeri. Baginya, berkesenian adalah juga upaya untuk ambil bagian dalam menyelesaikan masalah-masalah dunia.
Menurut Heri, kiprah di luar negeri itu dimungkinkan antara lain karena hubungan dengan berbagai agen seni atau makelar seni tadi. ”Saya tidak akan menjual karya lewat saudara atau kenalan,” katanya. Agen seni, galeri, mengurusinya. Mengurusi itu tidak sebatas bisnis, tetapi juga perkembangan karier si seniman, karena mereka menguasai petanya. Di sini Heri Dono menyayangkan terbatasnya peran kurator-kurator (seni rupa) di Indonesia. Mereka dianggapnya tidak punya jejak di dunia internasional, hanya menjadi ”jago kandang” di negeri sendiri.
Sejarah perkembangan seni seperti itu juga terasa di seni pertunjukan. ”Seni pertunjukan (performing art) Eropa sedang mencari dunia baru,” kata Robert. Problemnya, menurut Robert, para direktur gedung pertunjukan, direktur teater, direktur festival, dan berbagai pihak yang memiliki tempat dan acara untuk seni pertunjukan sebenarnya kurang mempunyai informasi mengenai kekayaan berbagai negara. Ini juga salah satu alasan, mengapa Robert terjun ke dunia makelar seni. Bersama istrinya, Maria Teresa Buttarelli, dia mengaku sudah menjalani usaha ini sekitar 25 tahun.
Dinamo
Sama seperti Heri Dono, Robert melihat kurang tumbuhnya makelar-makelar seni dari Indonesia. Untuk Asia, dia membandingkan seperti Singapura, Malaysia, Filipina, yang memiliki orang-orang yang berperan sebagai perantara. Hanya sayangnya, dari negeri-negeri itu, kekayaan seninya, atau istilah Robert software-nya, tidaklah sekaya Indonesia. Menurut dia, seandainya pers ikut membentuk jaringan dengan para direktur festival, direktur gedung seni pertunjukan, ia akan bisa mempromosikan kesenian Indonesia secara lebih luas lagi.
Robert menggambarkan, kalau disederhanakan, dalam bisnis seni pertunjukan semacam ini sedikitnya ada lingkaran: penyelenggara tempat (venue), seniman, penonton. Di tengah itu ada satu pihak lagi, yakni makelar. Makelar inilah yang menjembatani tiga pihak yang berkepentingan tadi, yaitu penyelenggara tempat, seniman, dan penonton.
Makelar digambarkan akan menjadi semacam dinamo yang menggerakkan semua potensi tadi. ”Dengan itu, Anda menciptakan suatu kegiatan kecil industri kreatif,” ucapnya. Itulah yang dimaksudnya dengan menciptakan kesempatan—bukan menunggu kesempatan. Bahkan kalau ada pesaing, Robert yakin usahanya akan makin berkembang karena dia akan tertantang untuk selalu menampilkan (bentuk produk seni) nomor satu. ”Saya membutuhkan kompetitor,” ucapnya.
Investasi
Praktis sendirian memilih dan mengorganisasi pertunjukan-pertunjukan dari Indonesia di Eropa terutama di Belanda, Robert mendasarkan pilihannya pada ”instink”. Membandingkan seniman-seniman Indonesia dengan seniman Asia lainnya, Robert menuturkan seniman dari Indonesia memiliki pola kerja tersendiri, yang bagi yang tidak mengenalnya bisa membikin cemas. ”Seniman dari Korea atau Jepang misalnya, tiga bulan sebelumnya semuanya sudah pasti, sudah tetap, sampai bentuk panggung. Dengan orang Indonesia, sampai dua hari menjelang pertunjukan masih kelihatan kacau. Tetapi saya kenal, pada waktunya mereka akan beres dengan sendirinya,” kata Robert tertawa. ”Kita tidak perlu cemas,” tambahnya.
Untuk terjun ke dunia makelar seni pertunjukan seperti ini, menurut dia, kita harus bersedia menginvestasikan waktu dan uang. ”Do you want to invest time, money, to promote Indonesian art?” tanya Robert (Bersediakah menyediakan waktu dan uang untuk mempromosikan seni Indonesia?)
Dari segi waktu saja, terlihat bagaimana habis-habisannya Robert. Sendirian ia menjemput rombongan di airport. Sementara istrinya, Maria, menyiapkan tetek-bengek di penginapan, seperti makan siang menyambut rombongan. Sampai kartu telepon anggota rombongan yang ingin ber-sms secara murah ke Tanah Air, Maria yang mengurusnya, dengan mencari kartu telepon di pasar. Begitu pun perlengkapan panggung yang oleh seniman Indonesia bisa dibutuhkan secara mendadak. Sampai pukul 02.00 dini hari, kadang Robert masih sibuk menelepon menanyakan ini-itu.
Untung cuaca Amsterdam waktu itu sedang bagus. Pada dini hari ketika dia menelepon, kami barangkali masih begadang di kafe menikmati musim gugur sebelum musim dingin benar-benar menyergap....
___
Sumber: Bre Redana, "Dibutuhkan, Makelar Seni," Kompas: Minggu, 26 September 2010.

Terbang Bersama Kebaya

Ketika orang asing belum mengenal Indonesia, mereka sudah lebih dulu mengenal maskapai penerbangan Garuda Indonesia dari seragam pramugarinya,” kata Josephine Werratie Komara atau Obin, desainer yang ikut merancang seragam baru maskapai penerbangan Garuda Indonesia periode tahun 2010.


Dulu, sekitar tahun 1970-an, pramugari Garuda Indonesia selalu menarik perhatian orang. Setiap kali pesawat maskapai penerbangan ini mendarat di luar negeri, hampir semua mata memandang ke arah pramugari Garuda yang ketika itu berseragam kebaya dan berkain jarik. Kebaya tersebut berbahan brokat yang berlubang-lubang.

”Ada keanggunan yang membuat banyak orang kagum,” tutur Obin.

Hidup Obin dekat dengan Garuda sehingga ia selalu mengikuti perjalanan sejarah maskapai penerbangan nasional itu. Ayah Obin adalah pendiri biro perjalanan pertama di Jakarta.

Selama hampir empat dekade, seragam awak kabin Garuda Indonesia berganti dari kebaya menjadi rok dengan setelan baju safari; rok terusan mini, seperti baju tenis yang didesain oleh Pierre Cardin; hingga rok panjang dan baju panjang seperti baju kurung; lalu berubah lagi menjadi rok panjang dengan baju lengan pendek.

Obin yang bekerja secara sukarela untuk Garuda ingin mengembalikan seragam Garuda kembali ke kebaya. Menurut Obin, kebaya itu sangat pas dengan siluet tubuh orang Indonesia. Selain itu, kebaya juga menjadi ciri khas berbusana sebagian besar masyarakat Indonesia.

Obin tetap memadukan kebaya dengan kain. Namun, agar lebih praktis dalam pemakaian, ia sudah memodifikasi kain yang akan dipakai pramugari Garuda. Kain yang lengkap dengan wiron (lipatan di bagian depan kain) itu bisa langsung dipakai seperti memakai rok panjang tanpa harus repot melilitkannya di pinggang.

Praktis dan nyaman 
Perancang Musa Widiatmodjo juga mengangkat kebaya ketika merancang pakaian seragam maskapai penerbangan Mandala Airlines. Namun, karena alasan kepraktisan, ia memadukan kebaya itu dengan celana panjang.

”Pakaian seragam itu untuk bekerja, jadi desainnya harus mempertimbangkan unsur kepraktisan, keleluasaan gerak, dan kenyamanan. Pramugari itu kerjanya berat,” kata Musa.

Kalau Mandala dan Garuda mengangkat kebaya, Lion Air justru memakai seragam model cheongsam sejak tahun 2000 pada saat maskapai penerbangan itu pertama kali beroperasi. Model cheongsam dipilih karena dianggap tidak cepat ketinggalan zaman.

”Selain menjadi model yang tak akan ketinggalan zaman, cheongsam juga dinilai cocok untuk dipakai pramugari dari beragam usia,” kata Direktur Umum Lion Air Edward Sirait, pertengahan September lalu. Model seragam pramugari Lion Air ini ditentukan sendiri oleh perusahaan tanpa campur tangan perancang busana.

Baju cheongsam ini dipadu dengan rok panjang dengan belahan yang tingginya hingga sepaha. ”Kami memperhitungkan fleksibilitas gerak pramugari untuk kepentingan tugas mereka. Tinggi belahannya bahkan telah diperhitungkan, termasuk saat pramugari harus berlari pada situasi tertentu. Apalagi, setiap pramugari melakukan uji coba saat fitting pakaian. Jadi, ukuran saat fitting sama seperti yang dilakukan saat bertugas,” tutur Edward.

Tahan api
Seragam pramugari benar-benar mempertimbangkan faktor estetika dan kegunaan. Saat bertugas, pramugari tidak hanya dituntut tampil cantik dan elegan, tetapi juga harus gesit dan cekatan melayani penumpang. Dalam keadaan darurat, ia harus bergerak cepat untuk menyelamatkan penumpang.

Obin membuat motif kain yang inspirasinya diambil dari motif lereng gondosuli. Ia lalu menambahkan motif sayap burung garuda dan titik-titik kecil yang melambangkan bunga melati.

Tata letak lereng (miring) pada kain, menurut Obin, tampak lebih elegan jika dipakai. Kain yang dikenakan memiliki belahan di bagian depan setinggi lutut sehingga membuat pramugari leluasa bergerak.

Untuk kebaya, sebelumnya Obin mendesain model kebaya kutu baru, tetapi tim panelis seragam Garuda memilih kebaya gaya kartini karena alasan lebih praktis. Pertimbangan kedaruratan membuat pihak Garuda Indonesia memilih material kain campuran katun dan polyester yang tahan api dan tidak mudah kusut.

Seragam Garuda tidak lagi hanya berwarna biru tua dan hijau tosca, tetapi juga jingga. Warna seragam yang akan dikenakan secara bertahap mulai bulan Oktober mendatang ini disesuaikan dengan warna baru pada kabin pesawat yang didominasi coklat terakota, jingga, dan merah bata. Selain awak kabin, seragam Garuda juga akan dipakai untuk unit lain.

Musa mempertimbangkan banyak hal sebelum memilih material untuk seragam Mandala. Salah satunya adalah kekuatan bahan terhadap gesekan. Sepanjang pengamatannya, pakaian pramugari rentan rusak akibat bergesekan dengan sabuk pengaman yang dikenakan.

Salah satu pertimbangan itu membuat Musa memilih bahan polyester hightwist (yang dipilin dua kali) sehingga kuat dan tidak mudah berbulu kalau dicuci. Material tersebut juga tidak mudah lecek sehingga cocok untuk keperluan perjalanan. Untuk Mandala, Musa memakai motif kain lurik dan batik truntum sebagai simbol kebahagiaan. Batik dipilih karena lebih dikenal masyarakat luas. (Lusiana Indriasari/Yulia Sapthiani) - Editor: Dini 

____
Sumber: Lusiana Indriasari & Yulia Sathiani, "Terbang Bersama Kebaya," Kompas, MInggu, 26 September 2010.

Rabu, 26 Mei 2010

Mengumpulkan Sayap-sayap Patah

Janganlah mereka dibuang. Janganlah mereka disingkirkan. Siapa pun kita pasti masih bisa mengangkat harkat mereka. Persoalannya, adakah keberanian kita untuk mengumpulkan sayap-sayap patah itu?
Derai air mata tak sempat dibiarkan mengalir ketika Guru Besar Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali memutar sekelumit video penari balet sembari memperlihatkan secara detail gambar bergerak itu di depan peserta ”Temu Nasional Wirausaha Sosial” di Jakarta.
Pertukaran informasi dan sikap saling menguatkan antar- wirausaha sosial itu diselenggarakan Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI), Kamar Dagang dan Industri Indonesia, serta Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Katolik Atma Jaya dan didukung British Council.
Mengagumkan. Seusai satu kata itu, Rhenald membuat sebagian penonton terenyak. Sunyi. Hanya getaran perasaan atau boleh dibilang tubuh penonton jadi merinding menyaksikan penampilan kedua penari balet China itu.
Bayangkan, pebalet perempuan, Zhai Xiao Wei, menari dengan penuh gemulai. Meliuk-liuk bak seorang pebalet yang memiliki anggota tubuh lengkap. Gerakannya sangat meyakinkan meski tangan kanan perempuan itu sesungguhnya tidak ada.
Kolaborasi menggetarkan semakin menjadi-jadi tatkala seorang pebalet lelaki, Ma Li, naik ke atas panggung. Ma Li hanya memiliki kaki kanan. Dengan tongkat yang dipegang untuk menyangga kaki kirinya, Ma Li berduet dengan Zhai Xiao Wei.
Saling dukung dalam gerakan-gerakan indah. Memukau. Bahkan, penonton sempat menghela napas ketika Ma Li yang percaya dengan lawan duetnya melepaskan tongkat penyangga tubuhnya. Meliuk-liuk, kekuatannya membuat Ma Li dengan percaya diri menggendong Zhai Xiao Wei.
”Stop. Kalau diteruskan, mungkin kita akan menangis kagum. Mereka memang cacat. Namun, seorang koreografer Zhao Limin mampu mengangkat harkat mereka di panggung entertainment,” kata Rhenald.
Tentu, keterbatasan yang diangkat di atas panggung hiburan menjadikan penghasilan tersendiri. Kalaupun kemudian mendatangkan uang berlipat ganda, hal itu patut disyukuri.
Kaki palsu
Lagi-lagi, sekelumit kisah ditayangkan. Kali ini seseorang lelaki berjalan perlahan, lalu menaiki beberapa anak tangga. Lelaki itu duduk beristirahat, melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Tanpa dinyana, sebelah kaki lainnya ”dicopot”.
Itulah Sugeng Siswoyudono asal Mojokerto, Jawa Timur, yang tanpa sungkan menunjukkan kaki palsunya. Si pembuat kaki palsu ini pernah diangkat dalam sebuah acara di televisi swasta, bahkan menginspirasi banyak orang.
Dari ketidakpunyaan dan keterbatasan, Sugeng terobsesi membuat kaki palsu untuk membantu sesamanya. Dalam keikhlasannya, Sugeng mengatakan, ”Saya bikin kaki palsu untuk membantu sesama. Saya sempat sedih. Jangankan suruh beli kaki palsu, mereka itu untuk makan saja sudah susah! Kalau dikasih duit, ya, itu namanya rezeki.”
Menginspirasi
Tak sebatas menginspirasi. Begitulah yang perlu dilakukan wirausaha sosial. Kegiatan AKSI masih membutuhkan peningkatan kapasitas atau kemampuan, khususnya dalam hal kewirausahaan.
Masih banyak pelaku sosial yang ”takut” menjadi wirausaha sosial karena begitu melakukan aktivitas komersial, mereka sering menghadapi fitnah-fitnah komersialisasi walaupun kegiatan itu diperlukan untuk menjadi mandiri.
Bambang Ismawan, tokoh lembaga swadaya masyarakat yang sudah bergelut lebih dari 43 tahun dalam Yayasan Bina Swadaya, mengatakan, ”Minta-minta masih lebih dianggap terhormat daripada menjadi mandiri. Tata nilai yang keliru ini akan dihadapi AKSI dengan pembangunan kemampuan, khususnya pada sisi kewirausahaan.”
Padahal, Chief Executive Officer Bodyshop Indonesia Suzy Hutomo mengakui, tatanan lingkungan yang semakin harus dijaga kelestariannya telah mendorong industrinya untuk menunjukkan komitmen pada sustainabilitas lingkungan. Triple bottom line yang harus dipegang seorang wirausaha adalah pelestarian planet (bumi), people (masyarakat), dan profit (keuntungan).
YW Junardy, Presiden Indonesia Global Compact Network (IGCN), menegaskan, ”Sebuah bisnis yang bertanggung jawab terhadap lingkungan sudah menjadi tuntutan mutlak. Saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan anjlok.”
Bayang-bayang skandal, kompetisi yang tidak fair, fluktuasi bursa saham yang cenderung menurun, isu-isu lingkungan, dan berbagai ketidakpastian ekonomi sudah menjadi santapan sehari-hari. Bisnis yang selama ini serupa cowboy capitalism dan economic animals kini lebih diarahkan pada penciptaan nilai demi para pemangku kepentingan.
Junardy memandang, stakeholders tersebut secara berurutan mulai dari tingkat tertinggi adalah konsumen, karyawan, pemasok, komunitas/masyarakat, pemerintah, shareholders/investor, dan lingkungan.
Sebuah cita-cita ingin digapai oleh para wirausaha sosial. Dalam komitmennya, kegiatan kewirausahaan sosial dapat menjadi sektor ketiga yang sama pentingnya dengan dunia swasta. Ini mengingat Indonesia adalah bangsa yang bertata nilai komunal, masyarakat senang berbagi, terdapat tradisi pengabdian masyarakat dalam dunia akademik, adanya perangsang berupa besarnya jarak (gap) antara si kaya dan miskin, tingginya angka penganggur, adanya nilai-nilai budaya partisipatif yang dapat dihidupkan dengan mudah, serta berkembangnya minat kewirausahaan yang besar di antara kalangan muda.
Selain itu, tantangan-tantangan yang membutuhkan uluran tangan masyarakat juga cukup kuat di Indonesia, mulai dari masalah sampah, gizi buruk, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, pendidikan yang kualitasnya masih rendah, kerusakan lingkungan, pemberdayaan kaum perempuan, hingga konflik sosial.
Terdorong atas berbagai problem besar itulah Perkumpulan Telapak tergerak untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan. Lalu, Rumah Perubahan bergerak sebagai lembaga edukasi yang bergerak dalam bidang pelatihan untuk mengembangkan wawasan kewirausahaan dan peningkatan kapasitas bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar.
Mahkota Dewa Indonesia lebih menyoroti gerakan wanita tani dengan memanfaatkan berbagai tanaman obat di Indonesia. Sementara Jarimatika Indonesia menjadikan komunitas ibu rumah tangga sebagai basis gerakan pendidikan supaya anak-anak tumbuh dalam kecerdasan.
Berbagai contoh gerakan individual atau kelompok itulah yang kemudian melahirkan wirausaha sosial. Dalam kebersamaan itu, AKSI, yang ingin menebar ”virus-virus” kebaikan, kini tengah bersiap mengikuti kompetisi dalam memperebutkan grant international senilai 800 juta dollar AS yang disediakan oleh Millennium Challenge Corporation (MCC).
Sekali lagi, kerja keroyokan para social entrepreneur tersebut tetaplah harus ditujukan untuk kegiatan riil memberantas kemiskinan dan buta huruf, serta perbaikan administrasi guna memberantas korupsi di Indonesia. Kolaborasi sesama pelaku kewirausahaan sosial ini diperkirakan dapat melibatkan 30 juta penduduk miskin. Bukan sekadar cari kemenangan!
---
Sumber: Stefanus Osa Triyatna, "Mengumpulkan Sayap-sayap Patah," Kompas: Rabu, 26 Mei 2010.

Kamis, 20 Mei 2010

Shakuntala Devi, Si Genius Matematika

Anda tidak suka pelajaran Matematika? Apakah berhitung dan angka menjadi momok bagi Anda? Temuilah Shakuntala Devi, si ajaib di dunia hitung-menghitung. Baginya, matematika bukanlah sesuatu yang menyeramkan, melainkan sesuatu yang menyenangkan. 
Sabtu (16/5) pagi hingga siang hari di Pusat Kebudayaan India Jawaharlal Nehru (JNICC), Jakarta, Devi memperlihatkan kegeniusannya di bidang hitung-menghitung. Dia menjawab soal-soal yang diberikan hadirin kepadanya. Salah satunya, akar pangkat tiga dari 469.097.433. Begitu dia membaca soal itu, langsung dijawabnya dalam waktu tak lebih dari satu detik. ”777,” ujarnya.
Si penanya langsung membenarkannya, disambut tepuk tangan hadirin. Berulang-ulang Devi menjawab soal-soal dari hadirin dan berulang-ulang pula dia membuat hadirin terkesan.
”Saya sangat cinta pada angka. Angka bukanlah suatu ancaman. Bahkan, satu hal yang bisa kalian andalkan dalam hidup ini adalah angka,” ujar Devi.
Tak hanya menghitung soal pembagian atau perkalian angka dengan banyak digit, Devi juga dengan cepat mengetahui hari lahir hanya dari tanggal lahir hadirin. Devi pun menyukai astrologi terkait tanggal lahir, tetapi dia tidak meramal nasib.
Tak hanya itu, Devi dengan cepat dan benar mengatakan tanggal berapa saja dalam satu tahun yang merupakan hari Rabu, misalnya. Atau sebaliknya, tanggal 21 setiap bulan, misalnya, jatuh pada hari apa saja.
Tak ada coret-coretan di papan tulis atau di kertas untuk mengungkapkan bagaimana Devi menghitung semua angka itu dengan demikian cepatnya. Dia berkata, semua jawaban itu dengan cepat muncul begitu saja di otaknya.
”Saya melakukannya secara spontan. Tidak ada jarak antara pertanyaan dan jawaban. Saya sudah melakukannya dalam waktu yang lama dan rasanya sudah seperti bagian dari hidup saya,” ujarnya.
Saat ditanya apakah dia pernah salah memberikan jawaban, Devi mengatakan, ”Tidak, saya tidak pernah salah. Barangkali ada kebingungan jika pertanyaan tidak jelas, atau jika angka 4 terlihat seperti 9, bisa saja saya salah,” ujarnya.
Saat ditanya bagaimana dia melakukan semua itu. Sambil tersenyum, Devi menjawab, ”Itu semua anugerah Tuhan, anugerah Dewa Ganesha.”
Sejak kecil
Kegeniusan Devi sudah terlihat saat dia berumur tiga tahun. Lahir di Bangalore, India, pada 4 November 1939, bakatnya terlihat dalam permainan kartu bersama ayahnya yang bekerja di sebuah sirkus. Devi mengalahkan ayahnya dengan mengingat kartu-kartu, bukan karena tipuan sulap.
Pada usia enam tahun, Devi mendemonstrasikan kegeniusannya di hadapan mahasiswa dan profesor di University of Mysore, India, dengan mengerjakan penghitungan aritmatika yang rumit dengan secepat kilat. Dia melakukan hal yang sama pada usia delapan tahun di Annamalai University, Osmania University, dan Vizag University di India.
Dari berbagai penampilannya itu, dia mendapat julukan ”Anak Ajaib”, bahkan ada yang menyebutnya ”Human Computer”. Namun, ia menolak sebutan terakhir. ”Saya lebih dari komputer, saya memiliki hati,” katanya.
Devi berkeliling dunia mempertunjukkan kegeniusannya. Tahun 1977 ia mengalahkan komputer paling canggih kala itu untuk menghitung akar pangkat 23 dari angka 201 digit. Setelah melihat 201 digit angka itu, Devi menunduk, memejamkan mata, dan berkonsentrasi. Saat jarum pada stopwatch mencapai angka 50 detik, Devi membuka mata dan menjawab: 546.372.891. Komputer Univac 1108 memerlukan 62 detik untuk menjawab: 546.372.891.
Tanggal 18 Juni 1980 menjadi hari bersejarah sekaligus pengakuan formal atas kegeniusan Devi. Pada hari itu, dia menghitung perkalian angka 13 digit, 7.686.369.774.870 x 2.465.099.745.779, yang dipilih secara acak oleh sebuah komputer di London. Jawabannya 18.947.668.177.995.426.462.773. 730 muncul dalam waktu hanya 28 detik. Nama Devi terukir dalam Guinness Book of Records.
Semua itu tidak didapat Devi dari bangku sekolah. Kepada Kompas, saat ditemui Jumat (14/5), Devi menuturkan, dirinya tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal.
”Saudara saya tujuh orang. Saya harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga keluarga kami,” ujarnya. Semua saudaranya lulus sekolah menengah atas, tetapi tidak satu pun memiliki kegeniusan seperti yang dimilikinya.
Bertemu Soekarno
Kemampuan itu telah membawa Devi keliling dunia, lebih dari 120 negara, dan bertemu tokoh-tokoh dunia. Salah satunya adalah Soekarno, presiden pertama RI yang dia temui pada tahun 1961.
Devi menuturkan, waktu itu Perdana Menteri India pertama, Jawaharlal Nehru, menceritakan kepada Soekarno tentang remaja India yang genius dalam bidang hitung-menghitung.
Soekarno, yang juga suka matematika, tidak percaya. Lalu Nehru ”mengirimkan” Devi ke Jakarta agar dia dapat mempertunjukkan kebolehannya di Istana Negara, Jakarta.
”Beliau (Soekarno) sangat terkesan dan menghadiahi saya gelang yang masih saya simpan di India. Mereka bilang, saya mirip salah satu putri Soekarno,” kenang Devi sambil tertawa.
Kunjungan Devi ke Indonesia sekarang ini merupakan kedatangan yang kedua kali. Dia menyatakan sangat senang, Jakarta sudah berkembang dibandingkan tahun 1961.
Devi kini tengah menanti kerja sama dengan penerbit Gramedia untuk menerbitkan buku-bukunya dalam bahasa Indonesia agar pengetahuan yang dimilikinya bisa dibagikan kepada anak-anak Indonesia.
Devi mengabdikan hidupnya untuk membuat anak-anak yang takut matematika menjadi suka matematika. Dia memberikan konsultasi, menulis buku, dan melatih anak-anak yang kesulitan dalam matematika di berbagai tempat.
Ada 14 buku yang sudah Devi tulis, 6 di antaranya adalah buku matematika. Bukunya yang berjudul Wonderland of Numbers bercerita tentang anak India bernama Neha yang tidak menyukai matematika, tetapi kemudian berubah menjadi jago matematika. Buku ini banyak menginspirasi anak-anak di India sehingga mereka tak lagi membenci matematika.
Dengan segenap kecintaan terhadap dunia angka, dia mendirikan Shakuntala Devi Educational Foundation Public Trust di tempat kelahirannya, Bangalore. Yayasan itu akan dibuka Mei 2010 ini.
”Mimpi saya adalah membagikan pengetahuan saya kepada seluruh dunia. Saya ingin mengubah cara berpikir tentang matematika supaya anak-anak tak lagi menjadikannya sebagai musuh,” tuturnya menutup perbincangan.
___
Sumber: Shakuntala Devi, Si Genius Matematika, Fransisca Romania & Elok Dyah Messwati, Kompas: Kamis, 20 Mei 2010.

Minggu, 14 Maret 2010

Bambu untuk Korban Tsunami

Lampu mirip sarang karya Yuriko Okubo dari Musashino Art University, Jepang.
Batang bambu bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat korban bencana, terutama mereka yang kehilangan rumah beserta perabotannya. Dengan teknologi terukur, tanaman rumpun itu dapat dikembangkan untuk membuat rumah darurat dan perabotan yang kuat, lentur, ringan, dan praktis.

Semangat itu diusung pameran ”Bamboo and Sustainable Life: Tsunami and Post-Disaster Reconstruction” di Campus Center Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, 2-8 Maret lalu. Pergelaran yang dibarengi workshop dan seminar itu menampilkan 26 produk dari material bambu. Ini hasil kerja sama tahun kedua antara Musashino Art University, Jepang, dan Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.

Salah satu karya menonjol adalah sebuah kubah berdiameter sekitar 3 meter rancangan Takaaki Bando, profesor science of design dari Musashino Art University. Struktur kubah itu disusun dari bilah-bilah bambu yang dirakit dengan baut membentuk pola segitiga dan segi enam. Meski cukup tipis, bilah-bilah itu membentuk kubah yang kokoh, lentur, dan ringan.

Kubah ini dibuat berdasar konsep synergetics. Artinya, kekuatan struktur dibangun dari ikatan, bukan tekanan. ”Rancangan kubah ini dikembangkan berdasar hukum alam, bukan semata otak-atik pikiran manusia,” kata Takaaki Bando dalam seminar terbatas di ITB, Senin (8/3).

Selanjutnya, struktur kubah bambu ini dapat diterapkan untuk membuat kerangka tenda, rumah darurat, atau rumah tinggal sementara. Para mahasiswa peserta workshop dari ITB dan Jepang mencoba menggarapnya. Mereka menyusun bilah-bilah bambu berpola segitiga menjadi kerangka atap, dinding, dan lantai tenda.

Kerangka berbentuk geometris itu lantas dibungkus kain yang menjadi atap sekaligus dinding. Agar lebih kuat, ujung-ujung kain ditarik dan ditancapkan pada dasar tanah. Salah satu sisi dinding diberi lubang sebagai pintu. Sekilas, rancangan ini mirip rumah pegunungan tradisional di Mongolia.

Rumah darurat itu bisa dirancang dengan sistem knock-down alias bongkar-pasang. Artinya, seluruh struktur dari bambu itu bisa dipereteli, dikemas, dibawa ke tempat lain, dan kemudian disambung-sambung lagi saat diperlukan. Jadi, tenda darurat itu akan gampang dipindah-pindah ke mana saja.

”Ini sumbangan desainer untuk membantu masyarakat pascabencana yang ingin membangun rumah secara cepat dan murah. Bentuk akhir desainnya bisa menyesuaikan kebutuhan setempat,” kata Ketua Divisi Desain Produk Industri Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB Dudy Wiyancoko.

Struktur bambu yang ringan dan lentur itu dianggap aman bagi masyarakat di kawasan pascabencana gempa atau tsunami. Masyarakat juga mudah membuatnya karena desain itu terukur dan dapat dipelajari. Tanaman bambu juga banyak tumbuh di mana-mana.

Perabotan
Pameran ini juga menampilkan produk berbagai perabotan sehari-hari dari material bambu. Sebagian besar produk memadukan berbagai karakter desain yang baik: fungsional, nyaman dipakai, mudah disetel, sekaligus indah.

Tengok saja kursi segi empat ”PLY” karya Ryuta Sakaki dari Musashino Art University. Empat kaki kursi menggunakan bilah bambu yang disatukan dan dilenturkan. Begitu pula sandaran dan dudukan kursi. Meski tampak sederhana, karya ini cukup praktis dan enak dilihat.

Karakter serupa juga terasa pada meja kaca ”Trio KD Table” garapan Yusuke Aunoma. Dia membuat kerangka meja dari bilah-bilah bambu agak panjang. Ujung bilah-bilah itu disambung dengan pola segitiga yang kokoh sehingga cukup kuat untuk menahan papan kaca bundar di atasnya.

Beberapa karya dari desainer ITB juga mengesankan. Salah satunya ”Pincuk Set” karya Muhammad Ihsan. Dia merekatkan beberapa pilah bambu lebar menjadi semacam pincukan, mirip kapal terbuka. Karya ini dilengkapi beberapa sendok.

Arianti Ayu Puspita mencoba memanfaatkan material bambu untuk membuat otoped alias skuter dorong. Mengandalkan sistem modular, sepeda dengan dua roda kayu itu bisa digunakan anak-anak untuk bermain. Karya ini dinamai ”Bamboped”.

Secara keseluruhan, pameran ini menggambarkan Jepang sudah sangat maju dalam pengolahan bambu. Karya-karya berbahan baku bambu dari negeri itu tak saja indah dan fungsional, tetapi juga diolah dengan teknologi tinggi.

Para desainer Jepang memperkenalkan teknologi EDS (Ecology-Diversity-Synergy) alias ekologi-keanekaragaman-sinergi. Mereka punya standar pengolahan bambu agar awet, tahan perubahan cuaca, dan tetap punya karakter bambu. Teknik ini bersumber dari tradisi kuno serta hasil uji coba dengan peralatan modern.

Sebenarnya masyarakat tradisional di Nusantara juga punya teknik pengolahan bambu. Masyarakat Jawa, misalnya, sudah lama mengenal pengawetan bambu lewat perendaman dalam jangka waktu tertentu. Hanya saja, pengolahan itu belum dibakukan dalam standar modern dan terukur. 


___
Sumber: Ilham Khoiri, "Bambu untuk Korban Tsunami," Kompas: Minggu, 14 Maret 2010.